Dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri, sekaya dan secukup apapun, pastilah seorang manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dll. Dan setiap kegiatan sosialisasi tentunya ada kegiatan saling berkunjung baik ke rumah kerabat maupun menghadiri undangan walimahan kerabat, dll.
Hal inilah yang membuat saya berpikir lebih lanjut, bagaimana sih adab bertamu ke rumah kerabat atau memenuhi undangannya secara Islam. Bagaimana secara Islam sikap yang seharusnya dalam memuliakan tamu dan menjadi tuan rumah, saya menemukan beberapa artikel di Internet yang akan saya copy paste disini. Semoga membantu dan menjadi pelajaran bagi kita semua dan terutama diri saya sendiri. Insya Allah… Amiin…
Adab bertamu bagi Tamu:
1. Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur/halangan, karena hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengatakan:“Barangsiapa yang diundang kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim)
2. Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya. Ini berarti Islam secara NYATA mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan manusia, kecuali dalam hal takwa.Apabila kita sedang berpuasa sekalipun, diharapkan hadir. Ada hadits yang bersumber dari Jabir Radhiallaahu anhu menyebutkan bahwasanya Rasululloh SAW bersabda:”Barangsiapa yang diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah mengapa.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3. Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.
4. Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan rumah.
5. Hendaknya mendo`akan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya. “Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah Engkau karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi kami makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”.
6. Tidak Mengintai Ke Dalam Bilik. Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
7. Tidak Masuk Rumah Walaupun Terbuka Pintunya. Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.
8. Minta Izin Maksimal Tiga Kali. Tamu yang hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata,“Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya,”Mengapa kamu kembali?” Dia menjawab,”Saya mendengar Rasululloh bersabda,”Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali.”
9. Tidak Menghadap Ke Arah Pintu Masuk. Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan ”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …”
10. Hendaknya Menyebut Nama Yang Jelas. Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “Saya” atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.
Adab menerima tamu bagi Tuan Rumah:
1. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan/melupakan orang-orang fakir. Rasululloh SAW bersabda:“Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
2. Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasululloh SAW dan membahagiakan teman-teman sahabat, ataupun syukuran dalam rangka bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
3. Tidak memaksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan:“Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)
4. Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
5. Jangan menampakkan kejemuan/kebosanan terhadap tamu, tetapi tunjukkanlah kegembiraan dengan kahadiran tamu tersebut.
6. Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
7. Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
8. Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.
Demikian sedikit dari adab-adab bertamu dan menerima tamu yang saya temui di Internet, sebenarnya ada satu situs lagi yang amat baik, namun sepertinya terlalu panjang jika ditulis disini, lebih baik dibaca sendiri.
Semoga dapat menjadi tamu yang bersahaja dan tuan rumah yang memuliakan tamunya... :)
Minggu, 21 Februari 2010
Adab Bertamu secara Islam
Sabtu, 20 Februari 2010
HUKUM MENUNDA PEMBAYARAN HUTANG PUASA HINGGA TIBA RAMADHAN TAHUN BERIKUTNYA
Pertanyaan :
Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?
Jawab : Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :
(( فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ , وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ))
“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.”Al Baqorah : 185.
Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ .
Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)
‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .
Adapun perkataan Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.
Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya, Wallahul Muwaffiq
HUKUM MERAYAKAN VALENTINE
Kasih sayang sebuah nilai yang universal, semua orang di dunia menyetujui bahwa kasih sayang adalah nilai yang agung, semua orang di dunia suka akan hal itu. Sebagai sebuah agama dunia, Islam sangat menaruh perhatian terhadap kasih sayang itu. Islam memang agama kasih sayang. “Barangsiapa yang tidak menyayang, tidak akan disayang.” Barangsiapa tidak menyayangi yang di bumi, maka tidak akan disayangi oleh yang di langit.”
Mengingat tingginya nilai kasih sayang dalam pandangan Islam, maka kasih sayang diberikan, dirayakan sepanjang waktu. Tidak ada waktu khusus untuk saling menyayangi, misalnya tahun kasih sayang, bulan kasih sayang, atau hari kasih sayang. Kasih sayang dalam Islam terjadi sepanjang hari, sepanjang kehidupan. Kalau terjadi peristiwa seperti itu, pasti bukan dari Islam.
Selain itu kasih sayang Islam untuk seluruh makhluk Allah. Bahkan Rasullah saw melebel orang yang tidak menyayangi yang kecil dan yang besar (dengan menghormatinya) bukan termasuk umatnya. Sehingga Islam tidak mengenal kasih sayang hanya untuk orang tertentu saja, apalagi hanya kepada lawan jenis.
Sementara, di tengah-tengah masyarakat kita-khususnya diperkotaan-telah muncul perayaan hari kasih sayang yang disebut dengan valentine’s day. Merayakannya dengan menghabiskan hari dengan orang terkasih, yaitu kekasihnya. Makan malam bersama di tempat yang romantis, sambil menikmati iringan lagu My Valentine. Saling memberikan kado, coklat, yang disertai kartu ucapan. Hari itu dianggap hari yang special. Interior di mall, supermarket atau pusat perbelanjaan di rancang demikian romantis dipenuhi pernak-pernik berbentuk hati, ada rangkaian bunga indah, coklat, pita disana-sini, yang kesemuanya didominasi warna pink. Kartu ucapan sayangpun marak dijual di emperan toko-toko.
Perayaan seperti jelas bukan dari Islam karena seperti yang disebutkan diatas, Islam hanya mengenal bahwa kasih sayang itu dilakukan setiap hari. Lalu darimana perayaan seperti ini? Banyak orang bercerita tentang asal muasal valentine’s day itu, namun beberapa para ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine. Ia adalah seorang pria Roma yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya.
Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksaan ‘undian cinta’. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : “Dari Valentinemu”.
Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine.
Akhirnya secara bertahap 14 Februari menjadi hari khusus untuk bertukar surat cinta dan St. Valentine menjadi idola para pecinta. Datangnya tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga. Sering juga untuk merayakan hari kasih sayang ini dilakukan acara pertemuan besar atau bahkan permainan bola. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, kini acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.
Nah, ternyata benar, valentine’s day itu bukan dari Islam, bahkan merayakannya akan menyeret pelakunya kepada kemusyrikan, sebuah perbuatan yang akan mencederai ketauhidan kepada Allah. Ini masalah besar dalam Islam.
Masalah besar lainnya adalah berkurangnya nilai kasih sayang, yang oleh Islam dijunjung tinggi. Terkesan bahwa kasih sayang itu hanya terbatas hubungan laki-laki dan perempuan, padahal sejatinya kasih sayang itu lebih luas dari yang dipraktekkan. Bahkan kasih sayang-yang mulia itu-dipraktekkan dengan perzinahan. Dipraktekkan dengan pergaulan bebas, terjadi de-sakralisasi seks. Sungguh praktek kasih sayang yang jauh dari ketinggian Islam.
Selanjutnya valentine’s day akan memunculkan memunculkan dan membentuk akhlak baru yang mengkhawatirkan, diantaranya:
Pertama, munculnya akhlak tasyabuh yaitu akhlak meniru orang lain dengan tanpa mengetahui dan mempertimbangkan sebab dilakukannya valentine’s day. Dengan meniru praktek berkasih saying yang buruk akan membuat ketinggian kasih saying Islam akan pudar dan secara perlahan akan sirna. Untuk itu Rasulullah saw memagari umatnya dengan sebuah hadits:
مَن تَشَبَهَ بِقَومٍ فَهُوَ مِنهُم رواه الترمذي
“Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut, ” [HR. Tirmidzi.]
Kedua, dengan meniru orang lain menunjukkan ketidakberdayaan umat Islam yang pada gilirannya akan meninggalkan ciri ketinggian nilai-nilai Islam, menanggalkan identitas keislaman. Nantinya umat Islam berperilaku mengikuti trend yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat-yang sekarang ini-dipengaruhi oleh budaya global melalui berbagai media. Karena dengan mengikuti Valentine bukan saja sekedar pesta untuk menyatakan kasih sayang, tetapi juga pesta yang mau-tidak-mau harus mengikutkan budaya yang lainnya, pergaulan bebas, fashion, pakaian minim, dansa-dansa, dan mengumbar nafsu lainnya.
Ketiga, valentine’s day secara tidak langsung memberi keuntungan kepada pihak kapitalis dan menjadikan umat Islam sebagai konsumen saja. Mereka yang membuat, memproduksi barang kepentingan perayaan, sementara pembelinya adalah umat Islam.
Dikala seperti ini, kita pegang saja kuat-kuat Sabda Nabi Muhammad saw: “katakanlah: aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah!” Dengan iman yang menancap di lubuk hati, sampai pada cinta kepada keimanan dan iman itu menghiasinya, maka akan benci kepada bentuk kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan sebagai firman Allah di Surat al-Hujurat: 7
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,”
Inilah benteng yang kuat untuk menangkis serangan globalisasi yang kuat sekali menerpa nilai-nilai Islam yang kita miliki.
Setelah kita menggenggam keimanan dengan erat, bertahanlah, istiqamahlah, berjalan terus diatas jalan yang lurus. Jangan lupa pelajari ilmu dan jangan pula pernah jemu. Orang berilmu akan mengetahui terang di dalam kegelapan, akan mengetahui jalan keluar dalam kesesatan, akan mengetahui kebenaran diantara kebatilan.
Wallahu a’lam
AL HUMAZAH DAN AL FIIL
Subhanallah, sungguh luar biasa aku mendapatkan makna yang sangat penting untuk kita renungkan dari rahasia urutan kedua surah ( Al Humazah dan Al Fil ). Dalam surah sebelumnya Allah swt. menggambarkan manusia-manusia humazah dan lumazah (pencela dan pengumpat). Di situ dijelaskan bahwa mereka adalah manusia yang mengagung-agungkan harta. Menganggap harta adalah segalanya. Meyakini bahwa dengan hartanya akan hidup kekal tanpa batas. Lalu seketika dalam surah Al Fiil Allah mencontohkan seorang manusia yang dihancurkan justru di saat-saat ia diselimuti tumpukan harta. Dimusnahkan justru di saat pasukannya berkumpul untuk membelanya. Dicelakakan justru oleh segerombolan burun-burung kecil yang tidak berdaya.
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa jumlah gajah yang digiring Abrahah lebih dari seribu. Tujuan pokoknya adalah untuk menaklukkan kota Mekah tanpa perlawanan, sehingga ia dengan mudah bisa menghancurkan Ka’bah. Sebagai manusia materialistik Abrahah tidak pernah membayangkan bahwa di atas segalanya ada kekuatan immateri (ghaib). Demikianlah Abrahah dan pasukannya melenggang dengan penuh keyakinan bahwa ia pasti bisa menghancurkan Ka’bah. Di tengah jalan menuju Mekah, mereka merampas unta-unta penduduk yang sedang di gembala. Di antaranya seratus unta milik Abdul Muthalib (kakek Rasulullah saw). Karena itu Abdul Muthalib segera menemui Abrahah untuk menuntut untanya. Di sini terjadi dialog antara Abrahah dengan Abdul Mutahlib:
Abdul Muthalib berkata: ”Wahai Abrahah, kembalikan unta-untaku.”
Abrahah: ”Hanya urusan unta kau datang menghadapku. (Tadinya Abrahah mengira Abdul Muthalib datang untuk menyerahkan kota Mekah. Sebab dari raut mukanya yang penuh wibawa Abdul Muthalib terbaca di benak Abrahah sebagai pemuka Quraisy).”
Abdul Muthalib: ”Aku adalah pemilik unta, maka tugasku adalah menuntut unta-untaku dikembalikan. Adapun Ka’bah yang akan kau hancurkan itu, ia ada pemiliknya. Silahkan kau berhadapan langsung dengan Sang Pemiliknya.”
Mendengar itu Abrahah semakin yakin, bahwa keinginannya untuk menghancurkan Ka’bah akan segera tercapai. Lalu Abrahah minta agar tidak ada satupun dari penduduk Mekah yang menghalangi. Seketika Abdul Muthalib mengumumkan hal tersebut, dan mereka patuh, lalu semuanya menyingkir ke balik pegunungan sambil melihat apa yang akan terjadi. Dalam diri mereka tersimpan keyakinan bahwa Ka’bah ada yang punya. Karenanya mereka menunggu apa yang akan dibalaskan oleh Sang Pemilik Ka’bah.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba datang barisan berwarna hitam dari arah Yaman. Secara perlahan barisan tersebut semakin banyak dan menutup langit. Abrahan dan pasukannya menyangka bahwa itu gumpalan awan pertanda akan turun hujan. Namun ternyata setelah kian mendekat, nampaklah bahwa itu barisan burung Ababil yang sangat rapi, mirip dengan barisan shaf shalat umat Islam di Masjidil haram. Masing-masing burung tersebut membawa tiga kerikil: satu di paruhnya dan dua di kakinya. Semua kerikil yang dilemparkan mengena langsung kepada sasaran. Dan begitu mereka terkena, seketika tubuh mereka menjadi rapuh, organ-organ dan persendian segera berjatuhan satu persatu. Lalu menumpuk seperti dedaunan yang di makan ulat. Allah menggambarkan kejadian ini dengan sangat jelas dalam surah Al-Fiil. Mari kita simak secara seksama kandungan surah ini:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-sia?,
Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”
Perhatikan, apa lagi yang akan manusia banggakan dengan hartanya. Masihkan akan terlena dengan benda-benda yang tidak berdaya?.
Masihkah akan menjadikan dirinya sebagai hamba materi?.
Masihkan akan mewakafkan seluruh hidupnya untuk kesibukan mengurus benda-benda?.
Masihkah akan menganggap Allah sebagai sampingan?.
Masihkah akan melihat bahwa Allah bukan tujuan?.
Masihkan akan merendahkan Allah dan meninggikan dunia?.
Masihkah akan mengutamakan kebutukan fisiknya di atas kebutuhan ruhaninya?.
Sungguh bila sejenak manusia mau menggunakan akal sehatnya, ia akan segera tahu bahwa dirinya berada dalam posisi yang sangat rentan. Terjepit sedikit saja syaraf matanya, ia langsung tiba-tiba buta. Terjepit sedikit saja urat syaraf punggungnya ia tiba-tiba tidak bisa duduk dan tidak berbaring. Dicabut saja kepercayaan istrinya, ia segera kalang kabut dan bingung. Apalagi yang dicabut kepercayaan banyak orang, mau ke mana ia harus mempertahankan kedudukannya. Sungguh segala yang dimiliki sebenarnya hanyalah kesemuan. Tidak ada yang abadi. Pun tidak ada yang bisa membela dirinya. Benar, Allah menjelaskan bahwa dunia hanyalah tipu daya. Wallahu a’lam bishshawab
Rabu, 26 Agustus 2009
BERCERMIN DIRI
Sahabatku,
Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.
Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.
Sahabatku,
Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?"
Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?"
Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, 'laaillaahaillallaah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"
"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?"
Sahabatku,
Tataplah diri kita dan tanyalah, "Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!"
"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?"
"Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?"
"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"
Sahabatku,
Ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu"
"Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, ...ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"
Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!
Sahabat-sahabat sekalian,
Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.***
(Sumber : Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001)
EMAIL DARI RASULULLAH
Malam sudah cukup larut, namun mata ini masih tak bisa terpejam. Semua tugas-tugas kantor yang kubawa pulang sudah selesai, tak lupa kusediakan setengah jam sebelum pukul 23.00 untuk membalas beberapa email yang baru sempat terbaca malam ini. Nyaris saja kupilih menu ‘shut down’ setelah sebelumnya menutup semua jendela di layar komputer, tiba-tiba muncul alert yahoo masuknya email baru. “You have 1 new message(s)...”. Seperti biasanya, aku selalu tersenyum setiap kali alert itu muncul, karena sudah bisa diduga, email itu datang dari orang-orang, sahabat, saudara, kerabat, intinya, aku selalu senang menunggu kabar melalui email dari mereka. Tapi yang ini ... Ooopss ... ini pasti main-main ... disitu tertulis “From: Muhammad Rasul Allah”
Walaupun sudah seringkali menerima junkmail atau beraneka spam, namun kali ini aku tidak menganggapnya sebagai email sampah atau orang sedang main-main denganku. Maklum, meski selama ini sering sekali teman-teman yang ‘ngerjain’, tapi kali ini, sekonyol-konyolnya teman-teman sudah pasti tidak ada yang berani mengatasnamakan Rasulullah Saw. Maka dengan hati-hati, kuraih mouse-ku dan ... klik ...
“Salam sejahtera saudaraku, bagaimana khabar imanmu hari ini ...
Kebaikan apa yang sudah kau perbuat hari ini, sebanyak apa perbuatan dosamu hari ini ...”
Aku tersentak ... degub didada semakin keras, sedetik kemudian, ritmenya terus meningkat cepat. Kuhela nafas dalam-dalam untuk melegakan rongga dada yang serasa ditohok teramat keras hingga menyesakkan. Tiga pertanyaan awal dari “Rasulullah” itu membuatku menahan nafas sementara otakku berputar mencari dan memilih kata untuk siap-siap me-reply email tersebut. Barisan kalimat “Rasulullah” belum selesai, tapi rasanya terlalu berat untuk melanjutkannya. Antara takut dan penasaran bergelut hingga akhirnya kuputuskan untuk membacanya lagi.
“Cinta seorang ummat kepada Rasulnya, harus tercermin dalam setiap perilakunya. Tidak memilih tempat, waktu dan keadaan. Karena aku, akan selalu mencintai ummatku, tak kenal lelah. Masihkah kau mencintaiku hari ini?”
Air menetes membasahi pipiku, semakin kuteruskan membaca kalimat-kalimatnya, semakin deras air yang keluar dari sudut mataku.
“Pengorbanan seorang ummat terhadap agamanya, jangan pernah berhenti sebelum Allah menghendaki untuk berhenti. Dan kau tahu, kehendak untuk berhenti memberikan pengorbanan itu, biasanya seiring dengan perintah yang diberikan-Nya kepada Izrail untuk menghentikan semua aktifitas manusia. Sampai detik ini, pernahkah kau berkorban untuk Allah?”.
Kusorot ketengah halaman ....
“Sebagai Ayah, aku contohkan kepada ummatku untuk menyayangi anak-anak mereka dengan penuh kasih. Kuajari juga bagaimana mencintai istri-istri tanpa sedikit melukai perasaannya, sehingga kudapati istri-istriku teramat mencintaiku atas nama Allah. Aku tidak pernah merasakan memiliki orangtua seperti kebanyakan ummatku, tapi kepada orang-orang yang lebih tua, aku sangat menghormati, kepada yang muda, aku mencintai mereka. Sudahkah hari ini kau mencium mesra dan membelai lembut anak-anakmu seperti yang kulakukan terhadap Fatimah? Masihkah panggilan sayang dan hangat menghiasi hari-harimu bersama istrimu? Sudahkah juga kau menjadi pemimpin yang baik untuk keluargamu, seperti aku mencontohkannya langsung terhadap keluargaku?.
Satu hentakkan pagedown lagi ...
“Aku telah memberi contoh bagaimana berkasih sayang kepada sesama mukmin, bersikap arif dan bijak namun tegas kepada manusia dari golongan lainnya, termasuk menghormati keberadaan makhluk lain dimuka bumi. Saudaraku ...”
Cukup sudah. Aku tak lagi sanggup meneruskan rentetan kalimatnya hingga habis. Masih tersisa panjang isi email dari Rasulullah, namun baru yang sedikit ini saja, aku merasa tidak kuat. Aku tidak sanggup meneruskan semuanya karena sepertinya Rasulullah sangat tahu semua kesalahan dan kekuranganku, dan jika kulanjutkan hingga habis, yang pasti semuanya tentang aku, tentang semua kesalahan dan dosa-dosaku.
Kuhela nafas panjang berkali-kali, tapi justru semain sesak. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, entah apa yang terjadi. Sudah tibakah waktuku? Padahal aku belum sempat me-reply email Rasulullah itu untuk memberitahukan kepada beliau bahwa aku tidak akan menjawab semua emailku dengan kata-kata. Karena aku yakin, Rasul lebih senang aku memperbaiki semua kesalahanku hari ini